Setiap Senyuman Kecil
Aku bukanlah
seseorang yang bisa membuka diri untuk orang lain, bukan orang yang dengan
mudah menceritakan setiap detail tentang diriku, bukan orang yang dengan
mudahnya menyapa orang lain
.
Berawal dari sebuah
ketakutan yang tak pernah hilang yang membuatku takut jika suatu saat nanti aku
akan mengalaminya lagi. Rasa sakit yang begitu mendalam karena kehilangan
seseorang yang begitu istimewa karena orang tersebut lebih memilih orang lain.
Luka itulah yang membuatku memiliki ketakutan jika pada akhirnya semua orang sama, mereka akan meninggalkanku
apapun alasannya itu.
***
Menurutku setiap hari
sama saja, tak ada yang berbeda setiap harinya. Aku tak memiliki begitu banyak
teman karena sifat introvertku ini, temanpun hanya sebatas teman karena kita
setiap hari bertemu di tempat yang sama. Menurutku hanya telepon seluler
milikku lah yang bisa ku anggap sebagai teman sesungguhnya, kenapa aku anggap
begitu? Karena ialah yang menemaniku setiap saat.
Hal itulah yang
membuatku dianggap sebagai orang yang tak pernah bicara dan memiliki kebiasaan
aneh. Tak pernah ada dari mereka yang sungguh-sungguh berbicara kepadaku
tentang hal aku sukai, mereka hanya berbicara kepadaku jika mereka memiliki
keperluan saja, namun itu membuatku nyaman karena aku tak begitu suka berbicara
dengan orang lain tanpa menyukai topik pembicaraannya. Akupun tak begitu peduli
pada mereka.
Aku tak pernah begitu
memperhatikannya, “Wesley, bisakah kau menjelaskan padaku tentang software
baru
ini? Aku sedikit kesulitan mengoperasikannya.” Dia memanggil namaku memang hal
biasa jika teman-temanku datang padaku menanyakan tentang pengoperasian
software. Akupun menjelaskan semua kepadanya secara mendetail.
Setelah hari itu
semua berjalan dengan biasa, hari yang menurutku gelap tetap berlanjut. Hanya
lelucon teman-temanku lah yang biasanya sedikit menghiburku, lelucon
teman-temanku memang terakadang berlebihan seperti melempariku dengan botol air
mineral, seperti biasanya aku membalas mereka dengan melempar kembali botol air
mineral tersebut namun ternyata air botol mineral yang aku lemparkan ternyata
salah sasaran botol itu tepat mengenai kening dia, Sydney.
Ruangan kelaspun
seketika langsung menjadi hening. Sydneypun langsung mengerang kesakitan, aku
tak tahu secara otomatis aku langsung berlari kehadapannya dan tanpa sadar
tanganku memegang keningnya “Apakah kau baik-baik saja?” dia tidak menjawab
apapun dan aku yakin pasti tidak baik-baik saja. Suasana kelas yang tadinya
hening berubah menjadi riuh karena mereka menyorakiku dan menganggap tindakan
ku tadi terlalu mirip seperti didrama. Akupun hanya minta maaf pada Sydney lalu
meninggalkannya.
Semenjak hari itu
tanpa sadar aku sering memperhatikannya aku tak pernah melihatnya marah atau
sedih yang kulihat hanyalah senyuman dan senyuman lagi setiap harinya.
Pelajaran yang
membosankan datang lagi dan yang lebih menjengkelkan dia menugaskan sebuah
penelitan tentang bagaimana teknologi bisa mengubah hidup manusia seperti biasa
guru itu membagi kelompok yang terdiri dari dua orang, karena ada 3 orang yang
tidak masuk hari itu aku menjadi satu kelompok dengan sydney.
Aku pikir Sydney
bukanlah orang yang menyenangkan yang hanya mengikuti aturan tanpa mengetahui
hal lain, tapi aku salah selama kita mengerjakan tugas itu kita tidak sepenuhnya
mengerjakan melainkan mengobrol tentang Jhon Titor yang katanya adalah
penjelajah waktu.
***
Menonton film di
handphone adalah kegiatan ku setiap harinya selain berselancar di internet,
Sydney menghampiriku dan bertanya “Kau sedang menonton film apa?”. “Hanya
sebuah film komedi.” Jawabku. “Apakah begitu menarik? Dibagian manakah adegan
yang paling lucu?” tanyanya lagi. Biasanya aku merasa risi jika ada orang yang
mengangguku namun saat Sydney menanyakannya aku dengam sukarela menjelaskan dan menunjukan bagian mana difilm
itu yang paling lucu. Aku dan Sydneypun
menonton film bersama dan lagi lagi aku lihat senyuman itu.
Lambat laun aku dan
Sydney menjadi begitu dekat dan tanpa sadar aku sering berbicara tentang hal
yang belum pernah aku bicarakan sebelumnya dengan siapapun. “Sydney apakah kau
menyukai musik beraliran rock?”. “Tak terlalu namun jika lagunya enak didengar
aku pasti menyukainya” jawab Sydney. “Sepertinya kau harus lihat dan dengar
yang satu ini” aku memberikannya sebuah video music dari band Secondhand Serenade yang berjudul Fall For You. “Bagaimana menurutmu?”
tanyaku. “Eum lumayan. Sepertinya aku menyukainya.” , “Apakah kau masih
memikirkannya?” lanjutnya. “Memikirkan apa?” jawabku bingung. Aku sedikit
bingung pada awalnya namun aku tahu arah pembicaraan ini. “Dia” sahutnya tanpa
menatap mataku. Aku terdiam dan semua kenangan itu datang lagi. “Karena kau
tidak menjawab, aku artikan itu sebagai ya” tambahnya lagi.
“Mengapa kau harus
mengetahuinya? Apakah itu menjadi sebuah keuntungan bagimu untuk
mengetahuinya?” kata-kata yang tidak aku harapkan keluar dari mulutku. Sydney
terpaku karena kata-kataku yang tentunya menyakitinya. Ia berdiri, tanpa
menaikan suaranya sama sekali ia berkata “Karena aku menyukaimu. Tentu itu
menjadi sebuah penentu bagiku. Bisakah kau mengakhirnya dan bisakah kau
berdamai dengan masa lalumu itu?” Ia tetap menghiasi wajahnya dengan senyuman
sebelum akhirnya ia pergi.
Hal itu terus
mengganggu pikiranku, perkataan yang ia ucapkan terus berdenging dikepalaku,
penyesalan dan rasa bersalah yang datang terus menerus karena kali ini aku
membiarkan orang aku sukai pergi karena kesalahanku. Sydney tak mengabaikanku
tak pula mengacuhkanku.
***
Ujian terakhirpun
telah selesai dilaksanakan semua siswa senang karena akan mengakhiri masa
sekolah menengah dan menuju ke perguruan tinggi. Tinggal selangkah lagi sebelum
mereka termasuk aku benar-benar meninggalkan sekolah ini yakni pesta
perpisahan.
Tawa dan tangis semua
tumpah ruah disini tawa karena kebahagian dan tangis karena kesedihan bahwa
masa remaja kami akan berakhir. Sydney tampak begitu cantik hari itu dengan
balutan gaun merah yang membuatnya tampak begitu mempesona. Semua acara di
pesta perpisahan ini aku ikuti mau tak mau sambil terus memperhatikan Sydney
dari kejauhan “Oh tuhan apa yang telah aku lakukan mengapa aku bisa membuatnya
bersedih” bisikku dalam hati. Hingga acara selesai aku tak berani menyapa
Sydney. “Wesley?” suara itu terdengar lagi suara yang sering menyapaku dulu,
Sydney menyebut namaku lagi. “Ya” jawabku langsung. “Aku minta maaf atas
kejadian tempo hari aku tak seharusnya bertanya seperti itu.” Sydney meminta
maaf. Aku tak dapat mengucapkan apa-apa lagi dan permintaan maafnya membuat
rasa bersalahku semakin dalam.
“Maafkan aku pula”
mungkin hanya kata itulah yang bisa aku ucapkan. Dia hanya membalas permintaan
maafku dengan senyuman. Kini aku sadar
aku begitu menyukainya, ungkapan yang mengatakan terkadang hal yang tak
diungkapkan adalah hal sebenarnya terjadi. Aku menyesal mengapa aku tak bisa
mengungkapkan rasaku yang sesungguhnya, bukannya malah membuatnya pergi dari
hidupku.
Comments
Post a Comment